Saat dalam perjalanan, berhentilah segera untuk salat begitu menemukan masjid. Jangan pernah berencana untuk sholat di masjid berikutnya. Perjalanan terlalu misterius untuk kita rancang dan kita lalui sesuai rencana dan keinginan kita. Termasuk merancang untuk sholat kapan dan di masjid mana.
Itulah nasihat yang saya tangkap dari cerita seorang sahabat tentang pengalaman buruknya karena menunda sholat dalam sebuah perjalanan. Ceritanya, saat itu ia bersama teman-temannya dalam perjalanan kembali dari kota Gresik ke Surabaya. Menjelang masuk tol Gresik-Surabaya azan Maghrib berkumandang. Ia yg duduk di belakang kemudi langsung mengarahkan mobil mampir ke sebuah masjid untuk salat. Tapi teman-temannya serempak mengusulkan untuk sholat di Surabaya saja, karena tolnya tidak terlalu panjang. Ia pun menuruti usulan teman-temannya.
Tak lama setelah melewati gerbang tol, ban mobil mereka tiba-tiba gembos. Mereka lalu menepi dan turun untuk ganti ban. Satu persatu baut velg mereka putar keluar. Tinggal baut terakhir yang, entah kenapa, begitu sulit untuk diputar keluar. Bergantian mereka mencoba, tetap tak bisa. Sampai-sampai kunci yang mereka pakai patah. Mereka pun menyerah dan segera menelepon teman-teman di rombongan mobil lain untuk datang membantu.
Saat menunggu bantuan, petugas jalan tol yang sedang patroli menepi dan menghampiri mereka. Setelah tahu masalah mereka para petugas segera memberi bantuan dengan alat yang mereka bawa. Anehnya, hanya dengan sedikit tenaga baut terakhir yang tadinya begitu keras dengan mudah dilonggarkan dan diputar keluar. Dan ban pun dengan mudah diganti.
Teman saya menuturkan, saat baut terakhir itu bisa dikeluarkan, azan Isya’ berkumandang. Ia dan teman-temannya langsung tersadarkan bahwa mereka sedang ditegur karena kelalaian mereka tidak mampir sholat di masjid sebelum masuk tol tadi.
Cerita teman itu begitu berkesan di hati saya. Hikmahnya begitu terpatri dalam benak saya. Tapi entah kenapa saya mengabaikannya hari itu. Akibatnya, saya dan keluarga pun mengalami apa yang kurang lebih sama dengan apa yang ia dan teman-temannya alami.
Saat itu saya kembali dari menjenguk anak saya yang mondok di Al-Amien Pamekasan Madura. Sudah jam 4 sore saat itu. Saya sedikit menaikkan kecepatan agar segera sampai di Bangkalan dan mengisi perut yang mulai lapar dengan bebek goreng di sana. Targetnya, bisa sampai Sidoarjo sebelum jam 10 malam.
Sampai di daerah Sampang hujan gerimis. Di kiri jalan ada masjid yang cukup besar dengan halaman yang cukup nyaman untuk parkir. Saya sempat berpikir untuk mampir menunggu maghrib yang kira-kira kurang 15 menit lagi. Tapi akhirnya saya putuskan terus jalan untuk memanfaatkan waktu, sambil berencana sholat di masjid terdekat berikutnya. Seingat saya, banyak masjid besar pinggir jalan selain masjid itu di kota Sampang.
Kira-kira 5 menit setelah melewati masjid tersebut kami terjebak kemacetan parah. Antrean kendaraan mengekor begitu panjang karena ada pengaspalan jalan. Saya langsung menyesali keputusan tidak mampir di masjid tadi. Tambah menyesal lagi karena ketika azan Isya terdengar kami belum beranjak dari kemacetan parah itu. Rencana jamak taqdim jadi jamak terakhir. Tak habis-habisnya saya menyesali kenapa tidak mampir menunggu maghrib di masjid tadi.
Lepas dari kemacetan kami tak kunjung ketemu masjid yang nyaman untuk disinggahi. Di bawah guyuran hujan kami terus jalan sampai ketemu kemacetan lagi. Pengaspalan jalan lagi. Tersendat lagi. Mood saya sudah kacau. Rasa sesal karena tidak mampir di masjid tadi terus mengganggu perasaan.
Lepas dari kemacetan kedua kami melanjutkan perjalanan yang rasanya gak enak lagi. Terasa begitu lama, dan tak ada tanda-tanda bahwa kami mendekat ke Bangkalan. Sampai kemudian saya dikagetkan oleh sebuah keanehan: kami kembali lewat di masjid yang tadi urung kami singgahi. Sambil terheran-heran saya langsung menepi untuk mampir sholat. “Ini artinya harus sholat di sini,” kata saya dalam hati.
Kepada penjual pentol di halaman masjid saya bertanya apakah mungkin orang yang menuju Bangkalan lewat jalan besar samping masjid itu bisa tersesat dan berbalik arah kembali ke Sumenep lagi? Dengan wajah heran orang itu menjawab tidak mungkin. “Ini jalan lurus menuju Bangkalan,” katanya.
Saat hendak sholat, saya melirik jam tembok masjid itu. Jam 9 malam kurang 15 menit. Waktu saya pertama lewat jelang maghrib tadi kira-kira jam 6 sore kurang 15 menit. Jadi, kira-kira 3 jam saya berkendara menuju Bangkalan dengan arah ke Sumenep. Astaghfirullah…
Saat melanjutkan perjalanan pulang, pikiran saya masih diliputi rasa heran tak terjawab. Saya coba lebih fokus dan konsentrasi. Tiap ada belokan saya curigai dan saya amati. Jangan-jangan di situ tadi saya belok lalu berbalik arah. Tapi tak ada belokan yang masuk akal bisa membuat saya putar balik dan berbalik arah.
Sampai akhirnya saya melewati SPBU di kanan jalan. Langsung saya teringat bahwa tadi saya hampir kehabisan bensin dan terpaksa mampir di SPBU itu walaupun posisinya kanan jalan. Sadarlah saya kenapa saya bisa berbalik arah dan kembali lagi ke masjid tadi. Ternyata, dari SPBU itu saya tidak keluar kanan menuju Bangkalan, tapi justru keluar kiri ke arah Sumenep. Ya Rabb…
Salah keluar dari SPBU itu saya yakini sebagai sesuatu yang harus saya alami karena sudah lalai mampir di masjid tadi, padahal sudah saatnya sholat. Ketika akhirnya mampir makan di sebuah warung nasi bebek di Bangkalan, saya menelepon sahabat saya itu. Saya ingin bercerita tentang yang barusan saya alami. Tapi mungkin karena sudah malam ia tidak menjawab. Baru ketika beberapa hari setelah itu, saat kami ketemu di kampus, saya ceritakan semuanya. Ia tampak tertegun mendengar cerita saya, sebagaimana dulu saya tertegun ketika mendengar ceritanya. (*)