Oleh: Dra. Hj. Aminah H. Idris*
Ingatan saya menguak dengan indah, persil-persil kisah heroik di 79 tahun lalu (1945) menghadirkan suasana batin yang melankolis. Saya dibuat takjub sekaligus rindu jika memasuki bulan kemerdekaan seperti (2024) ini.
Bagaimana tidak, sosok Ongo (nenek, ibu dari ayahanda TGH. Idris Djauhar) begitu kami akrab memanggilnya, tiba-tiba saja terlintas dalam lembaran album masa lalu, saat dimana pernah seatap bersama hingga menghembuskan nafas terakhirnya di kediaman kami, Saleko, Bima.

Sebagai anak di zaman masa awal kemerdekaan (orde lama) hingga masa orde baru. Ongo yang dikenal dengan Hafsah binti Rasul ini punya sejuta kenangan, kadang Ia berkisah tentang suaminya yang sudah mendahului dirinya, saya pun jadi pendengar ulung.
Sebagai seorang single parent, hidupnya tentu penuh dengan tantangan, ditambah suasana hidup di bawah tekanan penjajah, Belanda maupun Jepang.
Ada momen tertentu yang selalu saya tunggu, yaitu usai Ongo makan, maka ritual wajibnya adalah menumbuk daun siri dengan “Nocu” (lesung-Red) terbuat dari kuningan. Kenapa tidak dikunyah saja daun siri itu? Suatu waktu saya pernah membatin. Lha, bagaimana mungkin dikunyah, wong gigi aja enggak punya. Dari namanya saja bisa ditebak, “Ongo” dari bahasa Bima yang artinya Ompong. Hehe.
Ia, saya menunggu ritual “Tutu Mama” (menumbuk daun sirih-Red), sebab diwaktu inilah Ongo membeberkan banyak peristiwa penting nan haru. Bagaimana kasih sayang nenek Ongo untuk salah seorang putra tercintanya, seperti kata pepatah, “Untukmu lautan akan ku sebrangi, gunung akanku daki”. Begitu gambaran perjuangan seorang ibu untuk putra tercintanya yang saat itu di tahan para penjajah, tepatnya menjadi buruh kuli kerja paksa alias kerja rodi.
Tangan keriputnya terus bergerak, atas-bawah, menumbuk daun siri. Ia mengurai bait demi bait sejarah hidupnya membesarkan anak sulungnya tanpa didampingi oleh sosok suami tercintanya. Sambil menyimak penuh takjub, pikiran saya menyasar ke ruang imajinasi sendiri perihal ketangguhan Ongo yang tempo itu berani jalan sendirian, melangkah tak henti, di tengah suasana jalan yang membuat bulu kuduk merinding.
Jangan berpikir rute yang dilalui Ongo, dari desa Ngali, tempat Ia tinggal menuju Talabiu, dimana anaknya diperkejakan oleh Nippon, yaitu Lapangan terbang yang kini dikenal dengan Bandara Sultan Salahuddin, Bima seperti saat ini, beraspal dan banyak kendaraan roda dua maupun empat, atau terbayang ada lampu jalan. Oh, tidak.
Jikapun kendaraan ada di masa itu, Ongo tidak mungkin menggunakan jasa itu, sebab Ongo hendak menjemput diam-diam anak satu-satunya itu di Talabiu. Sebuah tempat yang cukup jauh jika ditempuh dengan cara nyeker, tanpa bantuan kuda, atau semacamnya.
Menyiasati kondisi demikian, sehari sebelum menjemput sulungnya bernama Idris (Kini di kenal sebagai TGH. Idris Djauhar-Red) itu, Ongo menyiapkan banyak hal. Malamnya Ongo enggak bisa tidur sibuk memikirkan dan mempersiapkan rencana serta bekal buat di jalan menjemput kembali Idris. Buntelan nasi dan laukpun siap dibawa. Tekatnya kuat.
Usai salat subuh, Ongo berangkat seorang diri menuju Talabiu, ketika kaki terasa letih sekujur tubuh sudah banjir keringat dan sejenak Ongo istirahat sambil menghela nafas. Mengumpulkan sisa tenaga yang dimilikinya. Bola salju mengalir membasahi pipi Ongo bukan menyurutkan tekadnya untuk menemui sang anak, malah sebaliknya, menyulut semangat Ongo untuk menemuinya.
Pertemuan Ibu dan Anak
Usaha tidak pernah menghianati hasil. Ongo sudah berjuang keras, nyawa taruhannya. Apalagi Ongo bermaksud menemui anaknya yang memang sebelumnya di bawa paksa oleh Jepang menjadi buruh. Singkat kisah, menjelang zuhur akhirnya Ongo sampai di tempat yang dituju.
Para kroni-kroni Nippon sudah berjejer dengan sigap mengawal dan mengawasi para pemuda pedalaman yang bekerja. Ongo tak punya bekal senjata, pisau atau apapun benda yang dapat digunakan untuk melindungi dirinya jika aksi nekatnya tersebut tertangkap basah oleh keamanan Jepang.
Ongo disaat itu hanya terus berikhtiar sekemampuannya, bibirnya tidak ia biarkan kering, Ongo sangat mengerti bahwa hanya takdir Allah semata yang mampu melindungi dirinya dari pantauan tentara Jepang. Ia basahi bibirnya dengan do’a da zikir.
Sembari terus melafazkan permintaan semoga anaknya dapat ditemukan di antara padatnya para pekerja. Ongo pun terus memantau di mana anaknya berada. Akhirnya, terlihatlah Idris muda dari jauh. Kaget bercampur bahagia, Ongo lantas berseru; “Driee… Anaee…. Kirimaimu anaeee, mori nawamu…. Maita lao dula ra do raaa…,” (Wahai Idris…. Anakku…. hidup anakku. Mari kita pulang….!-Red ) sang anak mendengar suara khas sang ibu. sayup ibunya. Idris lalu menoleh berusaha mencari sumber suara yang Ia dengar barusan.
Saat Idris muda ingin mengalihkan pandangannya, bertemulah kedua mata antara Ibu dan Anak itu. Tak ingin buang waktu, secepat kilat Idris melesat menuju ibunya dan memeluknya erat. Keduanya berlari, lalu menghindar dari jangkauan penjagaan keamanan Nippon, sampai pada tempat yang lumayan jauh dan tentu saja aman, Ongo membuka buntelan nasinya lalu menikmati bersama putera tersayang. Kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Ngali. Idris yang saat itu menginjak remaja akhirnya dibawa ke Bima untuk sekolah.
Mendengar cerita sambil menunggu daun siri yang ditumbuk, mengahdirkan banyak pertanyaan demi pertanyaan. Kenapa Ongo bisa lolos dari pantauan tentara Jepang? Kok, bisa Idris muda tidak dilihat atau suara panggilan Ongo tidak didengar? Apa iya, Ongo punya semacam ilmu kebatinan?.
Lambat laun, kisah itu dimaknai sebagai bagian dari kuatnya do’a seorang ibu dalam mengubah jalur takdir anaknya yang bisa saja nasib buruk menimpanya saat menjadi buruh untuk kepentingan Nippon. Semoga para ibu-bapak dewasa ini tetap terus berdo’a untuk keselamatan dan kebaikan untuk keluarga, bangsa dan negara tentunya.*
*Penulis adalah Pengawas Madrasah Kemenag. Dompu.