Di pohon bidara di belakang rumah, bersarang seekor laba-laba hitam dengan perut bergaris putih. Saat pertama kali saya amati beberapa bulan lalu, ukurannya hanya sebesar biji jagung, sekarang sudah hampir sebesar biji kurma. Sarangnya pun semakin hari semakin menjalar melebar.
Seiring meningginya pohon, sarang laba-laba ini semakin banyak menerima terpaan angin. Tapi, walaupun demikian, tidak ada bagian sarangnya yang tampak sobek atau berlubang. Melihat ini, diam-diam saya berpikir, ternyata sarang laba-laba itu kuat, walaupun hanya teranyam dari selaput-selaput tipis.
Namun demikian, saya tetap menyimpan asumsi bahwa sarang laba-laba itu rapuh dan mudah sobek. Suatu hari saat menyiram tanaman, iseng saya menyemprotkan air yang cukup deras ke sarang laba-laba itu. Saya ingin menguji sejauh mana kekuatannya. Sarangnya seketika berguncang dan si laba-laba sampai menggulung badannya agar tidak terhempas air yang saya semprotkan.
Tapi, setelah sekian menit, derasnya semprotan air sama sekali tidak menghempaskan si laba-laba, bahkan tidak sedikitpun merusak sarangnya. Saya pun akhirnya menyimpulkan bahwa sarang laba-laba itu, untuk sesuatu yang hanya berupa anyaman selaput-selaput tipis, ternyata kuat dan tidak rapuh.
Saya kemudian bertanya dalam hati, kalau sarang laba-laba kuat seperti itu, atau minimal tidak serapuh yang saya duga, lalu apa maksud ayat yang menyatakan bahwa rumah atau sarang laba-laba itu sangat rapuh? Dalam al-Qur’an, tepatnya ayat 41 surat al Ankabut (Surat Laba laba), memang ditegaskan bahwa rumah laba-laba adalah serapuh rapuhnya rumah.
Saya cek Tafsir At Thobari, Ibn Katsir , dan al-Qurthubi. Semunya menjelaskan bahwa tamsil sarang laba-laba itu untuk menganalogikan betapa lemahnya sandaran kaum Musyrikin yang mengandalkan selain Allah. Patung dan berhala yang mereka sembah dan andalkan sedikitpun tidak bisa membantu saat mereka butuh pertolongan dan tidak melindungi mereka saat mereka mendapat bahaya. Ini persis dengan laba-laba yang membangun rumah yang begitu terbuka yang bahkan tidak mampu melindungi dari panas dan dingin.
Selain itu, titik lemah lain dari sarang laba-laba adalah sandaran atau tautannya. Ia selalu menggantung atau menempel di tempat atau benda-benda yang rentan rusak dan tidak permanen, seperti dahan, daun, rumput, kayu, papan, dan lain lain. Ketika benda benda ini bergeser atau rusak, lenyaplah sarang laba-laba.
Begitu juga kaum musyrikin yang menyekutukan Allah dengan benda berhala atau manusia. Ketika berhala-berhala itu rusak atau musnah, rusak dan musnah pula sandaran mereka. Begitu juga ketika manusia yang mereka andalkan mati, mati pulalah andalan mereka.
Berhala dan manusia yang mereka andalkan itu bahkan tidak bisa menolong dirinya sendiri. Berhala tidak bisa menyelamatkan dirinya, misalnya, ketika dipenggal dan dihancurkan oleh Nabi Ibrahim. Fir’aun, manusia yang mengaku Tuhan itu, bahkan tidak mampu menyelamatkan dirinya dan pengikutinya ketika ditenggelamkan oleh Allah.
Dan puncaknya adalah di Akherat nanti. Kaum musyrikin tersebut kelak akan kalangkabut menghadapi pengadilan agung hari itu. “Kalangkabut” itu sendiri berarti “seperti laba-laba”, yaitu bingung, panik, tanpa perlindungan dan pertolongan, karena ketika di dunia mereka salah memilih sandaran, pertolongan dan perlindungan. Mereka bersandar dan mengandalkan selain Allah, padahal Allah lah satu-satunya Pelindung dan Penolong Sejati: Ni’mal Maula wa Ni’man Nashiir (al-Anfal:40).
Jadi, tamsil rumah atau sarang laba-laba adalah peringatan bagi kita agar jangan salah memilih sandaran dan andalan dalam hidup ini. Kita harus mengandalkan dan bersandar kepada apa yang akan melindungi dan menyelamatkan kita di akherat kelak. Wallahu A’lam.
*Dosen Tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya