Memori tentang Umi masih kental dalam ingatan. Meski sudah pergi untuk selamanya (Meninggal dunia) tahun 2019 silam, tapi kisah dan cerita saat bersamanya terasa selalu baru bagiku.
Dalam setiap sujudku, aku selalu langitkan do’a-do’a terbaik untuknya. Termasuk kebiasaanku berinfak, yang aku lakukan, aku niatkan khusus buat sesosok Umi yang kerap hadir dengan jutaan kenangan indah saat bersamannya.

Kenangan waktu aku masih usia anak-anak, tepatnya saat mengenyam sekolah dasar, Umi tak lupa mengajakku jika ada kondangan. Hal yang membuatku merasa sangat bahagia adalah ketika Umi memakaikan baju terbaik, kemudian rambut disisir dengan rapih.
Ada kebahagiaan lain yang selalu terbayang ketika ada acara-acara sosial maupun keagamaan, yaitu bayangan ‘bolu kukus’ kesukaanku yang selalu dinanti. Baik acara Nikah, Sunat, muapun Khatam Qur’an Aku selalu diajak oleh Umi. Suatu waktu, Umi mengajakku menghadiri sebuah acara Nikahan anak tetangga.
Para tamu duduk lesehan dengan hamparan tikar pandan yang dialas menggunaan daun pisang dalam jumlah yang lumayam banyak. Dulu sebelum ada terop seperti sekarang, orang-orang di kampung kami membuatnya dengan cara gotong royong dengan bahan utamanya adalah bambu.
Ada cerita lucu sekaligus menyebalkan saat itu, sebagai tamu undangan, kami suguhkan beragam jajan pasar saat acara sedang istrahat, pembagian kue dan bolu kesukaanku pun terus dibagikan, perasaan senang dan bahagiapun menyelimuti hati kecilku. Akhirnya, yang ditunggu-tunggupun tiba, ‘bolu kukus kesukaanku sudah hampir mendekatiku’ saya membatin disertai senyum bahagia.
Dari jarak yang sangat dekat, ‘bolu kukus’ yang ku tunggu sedang dibagikan, saya menyambutnya dengan rona kebahagiaan yang membuncah. Tapi, nahas, ‘bolu kukus’ ternyata sudah habis duluan disergap oleh tamu undangan lain sebelum sampain di hadapanku.
Sebagai orang tua, Umi amat sangat mengerti perasaan yang dialami oleh anak perempuan cantiknya, apalagi Umi tahu kalau aku sangat senang sekali makan bolu kukus itu. Melihat raut wajah yang penuh kejengkelan karena tidak kebagian ‘bolu kukus’.
Ummy langsung berusaha menenangkan kegelisahannku dan meminta pelayan untuk ambilkan ‘bolu kukus’ tersebut. Tak lama menunggu, akhirnya, kue, ‘bolu kukus’ mendarat juga di hadapanku dan Umi diam membisu tanpa komentar apa-apa.
Terbesit dalam pikiranku saat itu, mungkin Umi merasa malu dengan kenaifanku tersebut, tapi lain dengan aku, seperti angin lalu, saya tidak memikirkan banyak hal selain menikmati ‘bolu kukus’ kesukaanku yang enaknya minta ampun. Dalam waktu yang bersamaan, tentu aku berharap Umi akan mengajakku di lain kesempatan. Do’aku dalam hati. Hehehe.
Sekelimut kisah masa lalu bersama Umi di atas, selain ‘bolu kukus’ yang rasanya super enak, ada pelajaran berharga yang masih melekat kuat dalam memori kolektif aku, yaitu sikap penyayang Umi dan kepekaannya dalam menangkan kegelisahan anaknya yang menampakkan raut wajah tidak suka karena keadaan yang tak berpihak padanya.
Umi memberi teladan perihal gaya mendidik yang santun dan penuh keintiman. Umi tidak bertanya apalagi menyuruhkan untuk jangan marah karena tak kebagian bolu kukus. Atau menenangkanku dengan nasehat-nasehat verbal lainnya. Tapi, Umi memberi contoh nyata perihal kasih sayangnya begitu besar pada anak-anaknya, lebih khusus diriku. Terima kasih Umi, semoga tenang di alam sana. Aamiin. (*4)